Selasa, 03 Agustus 2010

Helen Sparingga: Semoga Keajaiban Tuhan Akan Datang agar Suamiku Dapat Melihat Lagi

Betapa hancurnya hatiku tatkala dokter memvonis kedua mata suamiku, Mul Mulyadi tak dapat melihat lagi akibat penyakit diabetes yang dideritanya. Namun aku berusaha tegar menghadapi kenyataan pahit itu, karena aku percaya Tuhan punya rencana indah di balik ujian hidup ini. Suamiku pun meski awalnya amat terpukul, kini ia ikhlas menerima kondisinya tersebut dan terus berdoa keajaiban Tuhan akan datang.

   Orang tuaku, Cornelis Thomas Sparringa dan RA Tini Wagiati Ali Basah memberi nama untukku, Helly Ruth Helen Sparringa. Aku anak kedua dari enam bersaudara yang dilahirkan di Semarang, 25 November 1953. Namun sejak menjadi penyanyi di era 80-an aku lebih dikenal dengan nama Helen Sparingga. Selama menjadi penyanyi sekitar empat album telah kukeluarkan yaitu Birunya Cintaku (1986), Semerah Duka di Hati (1987), Antara Hitam dan Putih (1989) serta Masih ada Kita-Kita.
   Bila mengingat masa-masa jaya itu, rasanya tak percaya aku pernah merasakan menjadi salah satu penyanyi populer di Indonesia yang dielu-elukan banyak orang. Hidupku waktu itu boleh dibilang bergelimang harta. Kesuksesanku di dunia tarik suara tersebut selain karena kerja kerasku juga berkat dukungan suami tercinta, Mus Mulyadi, penyanyi keroncong yang juga populer di era 70-80-an.

ADAPTASI SELAMA 15 TAHUN
     Aku menikah dengan Mas Mul, begitulah aku memanggilnya, di Surabaya, Jawa Timur, tanggal 10 Mei 1975. Dari perkawinan tersebut kami dikaruniai dua anak, Irene Patricia Mus Mulyadi (34) dan Erick Renanda Mus Mulyadi (32). Mereka kini sudah berkeluarga dan memiliki anak. Betapa bahagianya aku dan suami sudah menjadi kakek dan nenek dengan 3 cucu yang lucu-lucu.
     Bila mengingat bagaimana perjalanan rumah tangga kami selama 35 tahun, aku suka senyum sendiri sekaligus haru. Bagaimana tidak, sudah banyak suka dan duka yang kulalui bersama Mas Mul. Penyatuan dua pribadi yang berbeda hingga akhirnya dapat hidup harmonis dalam sebuah rumah tangga bukanlah hal yang mudah. Itu aku dan suamiku alami selama 15 tahun menikah.
     Selama kurun waktu tersebut entah sudah berapa banyak pajangan kristal yang kupecahkan setiap kali kemarahanku meledak. Meski demikian Mas Mul selalu diam dan mengalah. Ia begitu sabar menghadapiku yang keras dan temperamen. Namun aku bukan orang yang pendendam dan menyimpan masalah. Berbeda dengan suamiku yang penyabar, tapi suka menyimpan masalah hingga berlarut-larut. Kontras sekali memang karakterku dengan suami, tapi di situlah seninya berumah tangga. Kami bisa saling melengkapi satu sama lain.
    Bila aku sudah meluapkan kemarahan lewat benda-benda tersebut emosiku jadi agak ringan. Di situlah suamiku baru mendekatiku. Menanyakan apa penyebab kemarahanku dengan lemah lembut sembari memelukku. Kalau sudah begini hatiku biasanya luluh, komunikasi yang buntu pun akhirnya mengalir lagi. Sehingga jalan keluar didapatkan untuk kebaikan bersama.
    Aku sangat bersyukur mempunyai suami seperti Mas Mul. Ia mau mengerti dan menerima diriku dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Itulah yang membuatku semakin cinta dan sayang padanya. Di mataku Mas Mul adalah pria yang bertanggungjawab, penyayang dan perhatian kepada keluarga, meski ia bukan pria yang romantis.
    Kurang romantisnya inilah yang sempat menjadi masalah di awal-awal pernikahan kami. Sebagai istri aku ingin diperlakukan romantis oleh suami, tapi ia tidak bisa bersikap seperti yang kuharapkan. Hal ini membuatku sering uring-uringan dan emosiku mudah tersulut hingga akhirnya memecahkan barang-barang. Beruntung suami begitu memahami sifat temperamenku itu.

GAMPANG LETIH DAN PINGSAN
    Kehidupan rumah tangga kami memang penuh warna. Syukurlah semua itu bisa dilalui dengan baik. Meski sejak delapan tahun menikah Tuhan menguji kesetiaanku lewat penyakit diabetes (kencing manis) yang diderita suamiku. Awalnya aku belum tahu penyebab kondisi kesehatan Mas Mul yang terus menurun. Aku juga belum tahu kalau anggota keluarganya banyak yang terkena diabetes. Makanya aku tak pernah menyangka kalau suamiku akan menderita penyakit itu.
    Sejak pindah ke Jakarta tahun 1981 Mas Mul gampang letih dan pingsan. Akibatnya bobot badannya terus turun. Melihat kondisi kesehatannya yang begitu ringkih membuatku sangat khawatir. Aku segera mengantarnya ke dokter untuk diperiksa lebih lanjut. Benar saja, setelah diperiksa dokter mengatakan Mas Mul terkena diabetes. Kadar gula darahnya mencapai 400 mg/dl, padahal waktu itu usianya baru 38 tahun.
    Setelah berobat dan konsultasi ke dokter, aku mulai mengatur pola makan Mas Mul agar kadar gula darahnya terkendali. Aku takut kejadian yang dialami saudara-saudaranya akan terjadi padanya seperti tak bisa melihat. Bahkan ada adik perempuan suamiku meninggal akibat penyakit tersebut. Bila membayangkan hal tersebut aku takut sekali. Makanya aku berusaha keras menjaga kesehatan dan membangkitkan semangat hidupnya.
   Demi kesehatannya pula aku jadi cerewet dan galak terhadap Mas Mul, terutama soal pola makan. Setiap makanan yang ia konsumsi aku takar (timbang). Makanan favoritnya seperti mie goreng, gulai otak dan kepala ikan kakap kujauhkan darinya. Suamiku terkadang marah dan ngedumel dengan sikapku yang keras dalam membuat aturan.
   Namun semua itu kulakukan semata demi kebaikannya. Aku sendiri sebenarnya tak tega melihat keadaannya itu, tapi apa boleh buat itu yang untuknya. Meski begitu Mas Mul suka melanggar pantangannya bila aku lengah. Begitu ketahuan pasti aku langsung marah, bahkan terkadang menangis bila suamiku sulit diatur.


SERING MEMICINGKAN MATA
   Tahun 2004 penyakit diabetes Mas Mul semakin parah. Ini ditandai dengan kondisinya yang sering pingsan mendadak saat berjalan. Tak hanya itu kondisi pengelihatannya pun berangsur berkurang. Aku sering memerhatikan suamiku bila memandang sesuatu selalu memicingkan matanya. Bila aku menanyakan ada apa dengan matanya, ia selalu mengatakan kepadaku tidak perlu khawatir, keluhannya tidak serius dan akan segera membaik.
   Berhubung aku sering melihatnya memicingkan mata, aku jadi semakin khawatir. Terlebih ketika ia mengaku penglihatannya kurang jelas seperti mau minus atau plus. Aku segera membelikan kacamata minus dan plus. Anehnya setelah kedua kacamata yang kubeli itu dicoba, penglihatan Mas Mul tetap saja terganggu, terutama mata kanannya semakin buram.
   Di situlah kecurigaanku terhadap komplikasi diabetes yang dideritanya semakin kuat. Untuk memastikannya aku segera membawanya ke dokter. Yang kutakutkan ternyata benar. Penyakit itu telah mengganggu penglihatannya, sehingga Mas Mul harus menjalani operasi. Syukurlah setelah menjalani operasi penglihatannya berangsur pulih. Namun itu tak berlangsung seterusnya lantaran suamiku tak rutin mengontrol kesehatannya ke dokter.
   Tak hanya itu, ia juga kembali melanggar pantangan makannya. Waktu berobat ke Australia pun ia tak mau menuruti berbagai saran dokter. Akibatnya mata kanannya kembali buram, bahkan lama-kelamaan sama sekali tak bisa melihat. Menghadapi kenyataan pahit tersebut betapa terpukulnya aku dan suami, terlebih dokter mengatakan penglihatannya sudah telat untuk dipulihkan.


JUAL MOBIL PRIBADI
   Awal-awal mengalami kebutaan, mental Mas Mul sangat down. Ia banyak berdiam diri di kamar, galau, stres dan terus meratapi nasibnya. Aku sendiri waktu itu sangat bingung apa yang harus diperbuat untuk menenangkan sekaligus membesarkan hatinya. Meski hatiku ikut hancur berkeping-keping, aku berusaha kuat dan tabah agar bisa terus menyemangatinya. Siang malam kubacakan firman-firman Tuhan untuk menguatkan hati suamiku. Aku juga sering meyakinkannya, bahwa aku akan selalu berada disampingnya, menyayanginya apa pun kondisinya.
   Sejak tak bisa melihat dan prostatnya mengalami gangguan, Mas Mul mulai menjaga kesehatan dan pola makan. Ia mau mengonsumsi makanan kaya serat seperti sayur dan buah-buahan. Puji Tuhan, kadar gula darahnya berangsur stabil, sehingga tak semakin memperburuk kondisi kesehatannya.
   Demi kesembuhan Mas Mul aku rela berkorban. Aku tetap menerima tawaran show meski tak sesering dulu. Sekali itu aku juga menerima pesanan membuat pakaian. Kebetulan aku bisa merancang dan menjahit pakaian. Meski begitu aku lebih suka bila diminta menyanyi dibandingkan menjahit.
   Biaya pengobatannya yang begitu tinggi membuatku harus bekerja keras mencari uang. Meski kedua anakku, keluarga, kerabat dan teman-teman memberi bantuan dana untuk pengobatan suamiku, tapi aku tak mau menyandarkan diri kepada mereka. Aku dan suami harus merelakan mobil pribadi kami dijual untuk biaya pengobatan.
   Bersama pembantu aku berbagi tugas menjaga Mas Mul. Pagi sampai sore pembantuku yang menjaga suamiku. Sedangkan malam hingga dini hari akulah yang menjaga dan melayani berbagai kebutuhannya. Mulai dari menuntunnya ke kamar mandi, membacakan firman-firman Tuhan dan mengambilkan segala sesuatu yang diinginkannya. Pokoknya aku harus siaga setiap saat demi suami tercinta yang tengah berjuang melawan penyakitnya itu. Tak heran bila waktu tidurku sekarang berubah dari pukul 06.00 WIB hingga 18.00 WIB.

TAK MAU DIKASIHANI
    Setiap hari kulit Mas Mul aku olesi krim pelembap agar tidak kering. Aku khawatir sekali bila kulitnya kering akan mudah mengalami luka akibat terkena garukan atau goresan. Bila ini terjadi akan sangat sulit disembuhkan, karena diabetes yang dideritanya. Kondisi tersebut tentu saja akan membahayakan baginya. Obat dari dokter pun kerap kuberikan, baik yang diminum maupun yang disuntik.
   Untuk menjaga kadar gula Mas Mul tetap stabil, sebelum makan aku selalu mengeceknya darahnya dengan alat khusus. Begitu pula setelah makan pemeriksaan serupa dilakukan lagi. Memang jadi agak ribet, tapi itulah yang harus dijalani. Sebagai istri aku harus telaten dan sabar melayani suamiku dengan keterbatasan fisiknya sekarang.
   Seminggu sekali suamiku juga menjalani terapi listrik yang dilakukan oleh penerapi yang datang ke rumah. Terapi tersebut bermanfaat untuk merangsang saraf dan sel-sel agar berfungsi kembali, terutama di daerah mata yang sudah melemah. Rutinitas lain yang kulakukan adalah membantu Mas Mul memilih sekaligus memakaikan pakaian dan alas kaki.
   Terkadang ia berusaha mengenakan baju sendiri, karena tak mau terlalu tergantung padaku. Dibelikan tongkat untuk membantu menuntutnya jalan pun ia tak mau. Suamiku benar-benar tidak mau dikasihani. Ia ingin diperlakukan sewajarnya saya. Selama bisa melakukan sendiri ia tak mau dibantu. Begitu pula saat ada tawaran show atau rekaman. Ia sering berangkat sendiri, tanpa kutemani. Ia bilang tak mau kondisinya sekarang menjadi beban bagiku.

BERHARAP KEAJAIBAN TUHAN
    Semua yang kulakukan itu merupakan wujud kesetiaanku mendampinginya dalam kondisi apapun, dalam suka dan duka. Terus-terang aku takut sekali bila Tuhan memanggil salah satu dari kami dalam kondisi seperti sekarang. Aku belum siap bila ditinggal suami. Begitu pula sebaliknya, aku belum siap meninggalkannya dengan kondisi seperti itu. Karenanya, aku benar-benar memerhatikan kesehatanku agar tak mudah sakit. Bila tubuhku terasa tidak enak, aku segera ke dokter dan banyak istirahat.
    Puji Tuhan, meskipun awalnya Mas Mul sempat terpukul dengan kondisi penglihatannya itu, sekarang ia sudah bisa menerima kenyataan. Wajahnya kembali ceria dan dapat menikmati hari-hari walaupun dalam kegelapan. Aku bahagia sekali melihat semangat hidupnya yang bangkit kembali. Terlebih dengan kondisinya itu masih ada pihak yang mau menawarkan suamiku untuk menyanyi atau rekaman album. Aktivitas tersebut tentu saja membuatnya semakin bersemangat menjalani hidup.
   Ada banyak pelajaran yang kupetik dari ujian hidup ini. Aku jadi lebih sabar dan ikhlas menghadapi emosi Mas Mul yang kadang naik-turun. Aku bisa memahami kondisi tersebut, karena siapa pun yang berada dalam kondisi seperti itu pasti akan lebih sensitif. Selain terus menjalani pengobatan serta terapi, aku dan suami juga rutin mengadakan doa bersama dengan kerabat dan teman-teman di rumah demi kesembuhannya.
   Aku juga meminta doa dan dukungan dari semua pihak agar semangat hidup Mas Mul tak pernah padam dan ia diberi kesembuhan. Meski dokter memvonis penglihatan suamiku tidak bisa sembuh seperti semula, aku dan suami tak mau berputus asa untuk terus berusaha semaksimal mungkin dan berdoa keajaiban Tuhan akan datang. (Seperti yang diceritakan Helen Sparingga kepada Ririn Indriani. Diterbitkan Majalah KARTINI edisi 2273.

3 komentar:

  1. Tuhan Yesus memberkati Bapak & Ibu, semoga tetap kuat & semangat selalu. Jangan pernah menyerah.

    BalasHapus
  2. karena TUHAN tidak akan memberikan cobaan di atas kapasitas kita..
    percaya selalu bahwa YESUS adalah pilar di atas pilar yg akan menguatkan kita dalam berbagai keadaan...SEMANGAT..GBU

    BalasHapus